Rabu, 25 September 2013

Melihat-Lihat Batik di Pasar Beringharjo


Siapa yang tidak mengenal Pasar Beringharjo Yogyakarta? Salah satu pasar yang cukup besar di Yogyakarta, yang terkenal dengan barang dagangan batiknya. Pasar Beringharjo terletak satu jalan dengan Malioboro, jadi tak heran jika pasar ini menjadi salah satu tempat berburu wisatawan yang ingin mencari batik dengan harga yang cukup terjangkau. Di Pasar Beringharjo kita dapat mencari batik dengan beragam pilihan motif serta pilihan harga. Pasar ini buka dari pagi dan tutup sekitar pukul 5 sore. Lokasinya yang strategis dan mudah dijangkau membuat pasar yang satu ini memang menjadi incaran wisatawan yang ingin berbelanja batik di Jogja.




Kondisi pasar yang cukup bersih dan rapi membuat siapa pun yang berbelanja di sini cukup merasa nyaman. Jangan heran jika hampir setiap hari pasar ini ramai dikunjungi oleh pengunjung yang kadang berjejalan untuk berburu batik. Di Pasar Beringharjo ini kita dapat mencari berbagai macam jenis batik, mulai dari kemeja batik untuk laki-laki, baju perempuan, daster, bed cover, hingga jarik. Pokoknya dijamin komplit serta dengan harga dan kualitas yang bermacam-macam. Jika Anda ingin membeli batik di Pasar Beringharjo jangan lupa untuk menawar harga batik yang Anda incar terlebih dahulu untuk mendapatkan potongan harga.

Sepeda Tandem dan Becak Hias, Cara Baru Menikmati Alun-Alun Kidul


Setelah puas menikmati kuliner di Angkringane JAC, saya melanjutkan perjalanan menyusuri keramaian di Alun-Alun Kidul atau yang biasa disebut Alkid yang terkenal dengan ringin kembarnya itu. Tapi, kali ini saya tidak ingin bermain "masangin" yaitu permainan  melewati dua buah ringin kembar dengan mata tertutup. Konon kabarnya bagi siapa yang bisa lewat di antara dua pohon ringin kembar tersebut permohonannya akan terkabul.


Ada satu lagi daya tarik dari Alun-Alun Kidul yang belum lama ini dikembangkan, yaitu hadirnya sepeda tandem dan juga becak hiasyang diberi hiasan lampu yang berwarna-warni dengan aneka macam bentuk. Tentu saja kehadiran sepeda tandem dan becak hias ini membuat nuansa tersendiri di Alun-Alun Kidul.




Beraneka macam bentuk tokoh kartun, lambang Keraton Yogyakarta, gambar binatang dan sebagainya kerlap-kerlip menghiasi jalanan di Alun-Alun Kidul pada malam hari. Lumayan lah, hitung-hitung olahraga mengayuh sepeda sambil menikmati salah satu pusat keramaian pada malam hari di Jogja ini.


Untuk tarif sewa becak hias per empat kali putaran dihargai Rp 25.000,00 dan sepeda tandem biasa sekitar Rp 15.000,00. Untuk jam operasionalnya biasanya sepeda-depeda ini muncul dari pukul 5 sore hingga tengah malam.

Candi Ijo - Candi Tertinggi di Jogja

Di sela-sela kesibukan menjalani UTS (Ujian Akhir Semester) di minggu pertama, akhirnya saya mempunyai sedikit waktu luang untuk menjelajah beberapa tempat yang menarik di Yogyakarta. Ya, beginilah enaknya tinggal di kota ini, jika sedang suntuk langsung saja tancap gas menuju lokasi-lokasi yang menarik guna menghilangkan penat di pikiran. 
Pagi ini saya cukup bingung juga ingin menjelajah ke mana lagi. Ritual searching di internet hanya menemukan tempat-tempat yang sudah terlalu sering untuk dikunjungi dan saya cukup bosan juga jika harus mengunjungi tempat-tempat yang itu-itu saja. Tiba-tiba saja saya teringat tentang candi-candi kecil yang tersebar di Yogyakarta, dan saya ingin menjelajahinya. Dengan berbekal ingatan seadanya saya mencoba mencari informasi candi-candi kecil yang tersebar di wilayah Yogyakarta.
Petualangan saya kali ini adalah menuju Candi Ijo, yang konon letaknya berada di bukit paling atas di antara candi-candi lain di Yogyakarta. Tanpa berfikir panjang lagi saya mengemasi barang-barang yang saya butuhkan ke dalam tas, keluar dari kamar kost, dan segera memanasi motor saya untuk melakukan perjalanan.

Secara adiministratif, Candi Ijo terletak di Dukuh Nglengkong, Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Jalan menuju Candi Ijo searah dengan jalan menuju Ratu Boko. Jika dari kota Yogyakarta, ambil saja arah ke timur menuju Candi Prambanan. Sesampainya di pertigaan lampu merah sebelum Candi Prambanan, ambil arah belok ke kanan menuju pasar, lurus saja menuju ke jalan Piyungan. Dari jalan Piyungan sekitar km 4, belok ke kiri (mengikuti papan petunjuk arah). Setelah belok, Anda akan disuguhi pemandangan persawahan yang cukup asri, jalan di sini sudah beraspal namun beberapa kondisinya sudah rusak. Jalan lurus saja sampai menemui persimpangan, di papan petunjuk jika ke Ratu Boko belok ke kiri, ke Candi Banyunibo lurus (ke arah timur), dan ke Candi ijo belok ke kanan. 
Perjalanan menuju Candi Ijo memang awalnya cukup datar dan kondisi jalan yang sudah lumayan baik, melewati perkampungan penduduk, namun ketika memasuki jalan yang menanjak, Anda harus berkonsentrasi mengendarai kendaraan. Jalan menanjak dan cukup curam serta keadaan jalan yang rusak mengharuskan Anda untuk berhati-hati. Saya melakukan penjelajahan menjelang siang hari, cuaca cukup mendung sehingga tidak terlalu panas. Di samping kanan dan kiri selama perjalanan yang menanjak, kita akan disuguhi pemandangan perbukitan yang cukup hijau dan juga beberapa penambang batu kapur yang digunakan untuk bahan bangunan.
Jalan menanjak cukup jauh dan hampir tidak ada jalan yang datar, jangan lupa siapkan dan cek kendaraan terlebih dahulu sebelum menjelajah Candi Ijo. Setelah perjalanan menanjak hampir sekitar 20 menit akhirnya saya sampai juga di lokasi Candi Ijo ini. Setelah memarkirkan motor, saya menuju pos penjaga untuk mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan sekedarnya, saya lanjutkan untuk mengelilingi kompleks Candi Ijo ini.
Di bagian kompleks atas (bagian timur kompleks) terlihat empat buah bangunan candi, yang terdiri dari satu bangunan candi utama dan tiga buah Candi Perwara (candi pengiring). Candi Ijo merupakan salah satu candi yang bercorakkan agama Hindu, hal ini terlihat dari lambang Lingga dan Yoni yang cukup besar yang terletak di dalam bangunan candi utama.
Di candi Perwara (candi pengiring) yaitu candi yang terletak di tengah terdapat arca berbentuk sapi yang disebut dengan Nandi, di mana dalam mitologi Hindu, Nandi digunakan sebagai kendaraan oleh Dewa Siwa. Sedangkan candi Perwara yang terletak di sebelah utara terdapat sebuah lubang berbentuk segi empat yang disebut dengan Homa yang berfungsi sebagai tempat untuk pembakaran.


Di kompleks bagian barat, terdapat beberapa reruntuhan bangunan candi berupa bebatuan dan terdapat sebuah candi kecil yang mungkin baru saja selesai dipugar. Saya tidak tahu fungsi candi ini, dan semoga saja proses pemugaran dan restorasi candi terus berlanjut.

Selain menikmati kemegahan candi, berkunjung di kompleks Candi Ijo ini kita juga akan disuguhi pemandangan perbukitan yang indah. Kita dapat melihat pemandangan persawahan serta bukit-bukit hijau yang menyegarkan mata. Udara di sini cukup bersih karena jauh dari hiruk-pikuk kendaraan bermotor. Namun sayang ketika saya berkunjung awan sedang kurang bersahabat dan tertutup oleh mendung. Beruntung bagi saya, ketika menjelajahi Candi Ijo ini, saya bertemu dengan rombongan turis asing yang sedang berkunjung, yah lumayan lah ada teman untuk berkeliling kompleks candi ini.
Candi ijo memang tidak terlalu seterkenal Candi Borobudur, Candi Prambanan, maupun Situs Ratu Boko. Namun, apabila Anda adalah penggemar wisata sejarah dan budaya, situs ini layak Anda jadikan agenda untuk dikunjungi.

Menikmati Keindahan Arsitektur Gaya Kolonial di Titik Nol Kilometer



Wilayah titik nol kilometer di wilayah Yogyakarta adalah sebuah wilayah yang sangat terkenal di kota ini. Lokasinya berada di ujung selatan jalan Malioboro menuju arah ke Keraton Yogyakarta. Di sekitar wilayah ini terdapat beberapa bangunan lawas peninggalan jaman kolonial Belanda yang masih berdiri kokoh seperti bangunan gedung Bank Indonesia, gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta, gedung Bank BNI. Gedung-gedung ini juga menjadi kawasan yang menarik dan dijadikan objek bagi para fotografer. Boleh dikatakan bangunan-bangunan ini diidentikan dengan Yogyakarta, karena hampir siapa pun tahu jika melihat foto-foto bangunan gedung tersebut maka ini berada di Yogyakarta. Di sekitar wilayah tersebut menjadi spot favorit baik warga Jogja maupun wisatawan untuk menghabiskan sore hingga malam mereka untuk nongkrong di wilayah ini. Jangan heran jika sore hingga malam tiba kawasan ini bakal cukup padat dan ramai dikunjungi. 


Titik nol kilometer ini menghubungkan jalan antara kawasan Malioboro dan kawasan Keraton Yogyakarta, maka tak heran banyak wisatawan yang banyak menghabiskan waktu di sepanjang titik nol kilometer ini. Banyak tempat duduk disediakan dan cukup nyaman untuk sekedar melepas lelah maupun untuk berkumpul bersama-sama. Di kawasan ini banyak pula pedagang asongan yang berkeliling menjajakan dagangannya, seperti pedagang rokok, makanan dan sebagainya. Pengamen-pengamen juga senantiasa memainkan lagu-lagu, dan uniknya di sini setiap pengamen akan menyelesaikan bait lagunya setelah diberi uang. Anda juga bisa me-request lagu kepada pengamen untuk menyanyikan beberapa lagu. Beberapa tukang becak juga masih  mangkal menjajakan jasanya untuk mengantar turis. Tips menggunakan becak lebih baik membuat kesepakatan di depan tentang harga sebelum menggunakan jasa becak ini.




Di kawasan titik nol kilometer, biasanya di depan monumen Serangan Umum 1 Maret juga dipajang beberapa kerajinan hasil dari kreativitas seniman-seniman Yogyakarta dapat dikatakan seperti galeri jalanan lah. Ya, menurut saya kawasan titik nol kilometer ini dapat dikatakan sebagai kawasan yang Jogja banget dan lumayan enak buat nongkrong rame-rame sambil bernarsis ria bersama teman-teman.

Taman Sari "The Water Castle"




Berkunjung di sekitar Keraton Yogyakarta tak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Taman Sari. Letaknya tidak jauh dari keraton, menuju tempat ini bisa menggunakan jasa becak yang bayak tersedia di sekataran Malioboro dan Keraton, atau juga bisa dengan berjalan kaki sembari menikmati suasana di dalam kompleks sekitar keraton. Tiket masuk untuk memasuki wilayah ini sebesar 3000 rupiah, ditambah biaya untuk kamera 1000 rupiah. Jasa guide lokal juga banyak tersedia di sini, setelah memasuki pintu masuk dan pengecekan tiket akan ada beberapa orang yang menghampiri untuk menawarkan jasa menjadi guide mengelilingi kompleks Taman Sari ini. Tarif guide rata-rata sekitar 20-25 ribu saja, dan sebaiknya memang membuat kesepakatan dari awal tentang berapa biaya guide.



Bangunan Taman Sari ini sangat unik dan cukup klasik. Perpaduan antara bangunan arsitektur Eropa dengan ornamen-ornamen Jawa di dalamnya. Ada juga bangunan seperti kamar tidur tetapi di bawah tempat tidur  terdapat perapian yang konon dulu digunakan untuk sauna.


Kompleks yang terkenal di Taman Sari ini adalah kolam pemandian yang konon katanya dulu digunakan oleh para selir raja untuk mandi, kompleks masjid bawah tanah, dan juga kompleks reruntuhan, namun sayang sekarang di kompleks reruntuhan ini pengunjung tidak dapat naik ke atas, padahal pemandangan dari atas sangat bagus, kecuali jika Anda benar-benar nekat untuk memanjat dinding ke atas.





Bangunan unik lainnya adalah bangunan masjid bawah tanah. Tempat ini juga sering dijadikan sebagai lokasi syuting FTV dan juga beberapa video klip, dan juga sering digunakan untuk lokasi pre-wedding pasangan yang akan menikah. Di sekitar kompleks Taman Sari ini juga ada sebuah kampung yang bernama kampung taman yang terkenal dengan kerajinan batik, kerajinan lukisan dan sebagainya. Sembari menikmati keindahan Taman Sari, Anda juga bisa sekalian berbelanja kerajinan tangan untuk oleh-oleh.

Trip To Solo Day 1 : Mampir ke Museum Radya Pustaka


Berjalan ke arah barat tak jauh dari kompleks Museum Batik Danar Hadi terdapat juga sebuah museum kecil yakni Museum Radya Pustaka yang berada satu deret dengan Museum Batik Danar Hadi dan Taman Sriwedari. Museum Radya Pustaka merupakan museum tertua yang ada di Indonesia. Museum ini terletak di Jalan Slamet Riyadi 275 Surakarta. Untuk memasuki museum ini pengunjung membayar tiket sebesar 2.500 rupiah dan tiket kamera sebesar 5.000 rupiah.


Ketika masuk ke dalam gedung, hal pertama yang akan ditemui adalah patung tokoh pendiri museum ini yaitu KRA. Sosrodiningrat IV yang merupakan patih dalem Paku Buwono IX. Menurut buku panduan yang saya beli di loket museum, nama Radyapustaka diartikan yakni Radya adalah Negara dan Pustaka adalah buku-buku, jadi Museum Radyapustaka ini dulunya adalah merupakan tempat penyimpanan buku-buku milik negara (keraton) dan dijadikan sebuah perpustakaan sekaligus pusat berkumpulnya para pujangga dari berbagai kalangan yang difungsikan sebagai pusat pengembangan ilmu budaya dan Kejawen.



Ruang pertama yang saja kunjungi adalah ruang wayang yang tersimpan berbagai koleksi wayang. Hanya sayang beberapa koleksi sedang diinventaris setelah kasus penggantian wayang asli yang digantikan dengan wayang replika yang merebak beberapa waktu yang lalu. Cukup disayangkan pula beberapa koleksi di sini tidak ada keterangan yang jelas sehingga cukup membingungkan bagi saya.


Ruang berikutnya yang saya masuki adalah ruang Tosan Aji yang tempat untuk memajang koleksi tombak perang, keris, pedang, dan senapan. Ruang ini lebih banyak memajang koleksi keris dengan berbagai macam bentuk, dan sekali lagi tak ada keterengan yang jelas mengenai keris-keris ini, sangat disayangkan.



Ruangan berikutnya adalah ruang keramik yang memajang koleksi keramik, alat makan yang terbuat dari kristal, porselin, dan beberapa koleksi gerabah. Di dalam ruang ini juga terdapat Piala Porselain yang merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte Kaisar Perancis. Piala ini berwarna merah marun dengan ukiran emas motif bunga-bunga yang merupakan slaah satu koleksi masterpiece Museum Radyapustaka.


Ruangan berikutny adalah ruang memorial, di mana dulunya ruangan ini digunakan sebagai kantor Kuartor Museum yang terakhir digunakan oleh K.G.P.H. Hadi Wijaya. Di ruangan ini terdapat lukisan tokoh-tokoh kurator pertama hingga terakhir dan juga terdapat lukisan Raja Keraton Surakarta dari PB IX hingga PB XII.


Ruang berikutnya adalah ruang untuk penyimpanan kepala atau haluan depan dari Kapal Pesiar Rajamala milik Keraton Kasunanan Surakarta yang diberi nama Kyai Canthik Rajamala.



Di bagian tengah ruangan museum ini terdapat ruang ethnografika yang memajang seperangkat alat gamelan, alat makan, Kuluk keraton hingga numismatika atau mata uang kuno. Menurut saya ruangan ini agak-agak horor sih karena lumayan agak gelap, hehehe.





Ruangan terakhir yang terletak paling belakang adalah ruang arca yang memajang koleksi arca-arca batu dan beberapa ornamen candi, yang merupakan koleksi arca pada masa kerajaan Hindhu. Hanya sayang beberapa arca ini diletakkan di bagian luar gedung dan nampak kurang terawat.

Menurut saya koleksi museum ini cukup bagus hanya saja nampak kurang terawat dan tidak adanya pemandu dan keterangan yang jelas pada barang-barang koleksi museum ini cukup menyulitkan bagi pengunjung untuk memahami isi dari koleksi-koleksi museum ini.

Untuk jadwal buka museum sendiri adalah
Selasa - Kamis 08.30 - 14.30
Jumat 08.30 - 11.30
Sabtu 08.30 - 14.30
Minggu 09.30 - 14.30
Senin - tutup

Trip To Solo Day 1 : Pasar Triwindu, Pasar Barang Bekas dan Barang Antik


Di tengah-tengah bagian Ngarsopuro terdapat bangunan seperti rumah, bangunannya cukup unik dan menarik. Langsung saja saya masuk ke dalam bangunan tersebut, ternyata di dalamnya terdapat kios-kios yang menjual barang-barang antik. Sejenak memanjakan mata dengan melihat barang-barang lucu-lucu dan unik di sini. Barang-barang yang tersedia mulai dari guci dan porselin, lampu hias kuno, patung-patung, gong, hiasan dinding, koin kuno, tembaga bermotif bekas untuk batik cap, setrika kuno dan lain sebagainya. Saya belum tau nama tempat ini dan bertanya kepada salah satu pedagang. Tempat ini ternyata adalah Pasar Triwindu yang dulu sempat direlokasi ketika pembangunan kawasan Ngarsopuro. Hmmm Pasar Triwindu memang sejak dahulu terkenal dengan pasar barang antik dan kuno. untuk membeli di pasar ini tawar menawar harus dilakukan untuk mendpaatkan barang incaran dan dengan harga yang pas di kantong. Saya memang tidak membeli apa-apa di sini karena niatnya hanya untuk cuci mata saja.